Kamis, 28 Oktober 2010

LOGIKA HUKUM

Logika Hukum
Sebelum membahas tentang logika hukum, kita melihat pengertian dari logika. Logika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, logika berarti (1) pengetahuan tentang kaidah berpikir, (2) jalan pikiran yang masuk akal. Hukum merupakan aturan yang dibuat yang mempunyai daya pemaksa untuk mengatur masyarakat. Logika hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagamana peraturan itu dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum.
Kelsen memandang ilmu hukum adalahj pengalaman logical suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal (Scholten, 2003:5). Ilmu hukum adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukium adalah bersifat logikal sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal (Scholten, 2003:7). Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalan tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio),kemudian diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning). Logika hukum (legal reasoning) mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, logika hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam membuat suatu penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit, berhubungan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan melakukan penelaahan terhadap model argumentasi, ketepatan dan kesahihan alas an pendukung putusan (Munir Fuady, 2010:23).
Selanjutnya Munir Fuady menjelaskan bahwa logika dari ilmu hukum yang disusun oleh hukum mencakup bebrapa prinsip diantaranya; pertama, prinsip eksklusi, adalah suatu teori yang memberikan pra anggapan bahwa sejumlah putusan independen dari badan legislatif merupakan sumber bagi setiap orang, karenanya mereka dapat mengidentifikasi sistem. Kedua, prinsip subsumption, adalah prinsip di mana berdasarkan prisip tersebut ilmu hukum membuat suatu hubungan hierarkhis antara aturan hukum yang bersumber dari legislatif superior dengan yang inferior. Ketiga, prinsip derogasi, adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar penolakan dari teori terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan yang lain dengan sumber yang lebih superior. Keempat, prinsip kontradiksi, adalah adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar berpijak bagi teori hukum untuk menolak kemungkinan adanya kontradiksi di antara peraturan yang ada (Munir Fuady, 2010:24).

Sumber Hukum
Sumber hukum memiliki banyak makna, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sumber hukum menurut Ishaq (2008:91), adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan tersebut dilanggar, akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Secara umum, sumber hukum ada dua macam, yakni sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, sedangkan sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dari sebuah peraturan tersebut.
Kansil menyatakan bahwa sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut, misal dari sudut sejarah, ekonomi, sosiologis, filsafat, dan lain-lain. Sedangkan sumber hukum formil dibagi menjadi lima, diantaranya (C.S.T. Kansil, 1989:46):
a. Undang-Undang (statute)
b. Kebiasaan (custom)
c. Putusan Hakim (jurisprudence)
d. Traktat (treaty)
e. Pendapat sarjana hukum (doktrin)
Sumber hukum menurut Achmad Sanoesi, sebagaimana dikutip oleh Ishaq (2008:92), membagi sumber hukum menjadi dua kelompok, yakni:
1. Sumber hukum normal, dibagi lagi menjadi dua, diantaranya:
a. Sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan undang-undang, yakni:
1) Undang-Undang
2) Perjanjian antar negara
3) Kebiasaan
b. Sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-undang, diantaranya:
1) Perjanjian
2) Doktrin
3) Yurisprudensi
2. Sumber hukum abnormal, yakni:
a. Proklamasi
b. Revolusi
c. Kudeta
Menurut Fitzgerald, sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo,menyatakan bahwa sumber-sumber yang melahirkan hukum dapat digolongkan ke dalam dua kategori besar,yakni sumber-sumber yang bersifat hukum dan sumber-sumber yang bersifat sosial.adapun yang disebut sumber-sumber yang bersifat hukum, merupakan sumber yang diakui oleh hukum secara langsung bisa menciptakan hukum, yang kedua, sumber hukum yang bersifat sosial merupakan sumber hukum yang tidak mendapatkan pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga secara tidak langsung bisa diterima sebagai hukum.pendapat lain, Allen , mengatakan bahwa sumber hukum dikaitkan oleh suatu pihak pada kehendak yang berkuasa, sedangkan yang lainpada vitalitasw dari masyarakat sendiri (Satjipto Rahardjo, 2000:81-82).
Subandi Al Marsidi, seperti yang dikutip oleh Ishaq (2003:83-84) membagi sumber hukum Indonesia menjadi empat, diantaranya:
a. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
c. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
d. Surat perintah 11 Maret 1966
Van Apeldoorn, membedakan empat macam sumber hukum, diantaranya (Sudikno MertoKusumo, 2003:83):
1. Sumber hukum dalam arti historis, yakni tempat dimana dapat ditemukannya hukum dari arti sejarah atau segi historis. Sumber hukum dalam arti historis dibagi lebih lanjut menjadi dua, diantaranya:
a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat ditemukannya atau dikenal hukumnya secara historis, diantaranya dokumen-dokumen kuno, lontar, dan sebagainya.
b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-undang
2. Sumber hukum arti sosiologis (teleologis), merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti keadaan agama, pandangan agama dan sebagainya.
3. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi lebih lanjut menjadi dua, diantaranya:
a. Sumber isi hukum, dinyatakan dari mana isi hukum itu berasal, ada tiga pandangan:
• Pandangan teokratis, menurut pandangan ini, isi hukum berasal dari Tuhan
• Pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini, isi hukum berasal dari pandangan manusia
• Mahzab historis, menurut mahzab ini, isi hukum berasal dari kesadaran hukum
b. Sumber kekuatan mengikat hukum, kekuatan mengikat hukum bukan karena didasarkan pada kekuatan bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusialaan dan kepercayaan.
4. Sumber hukum dalam arti formiil. Yang dimaksud adalah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum yang mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku, harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan, traktat atau perjanjian antar negara.
Selanjutnya Sudikno memberikan pengertian sumber hukum sebagai berikut (Sudikno Mertokusumo, 2003:82):
a. Sumber hukum sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, missal kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dan sebagainya
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang berlaku; hukum Prancis, Hukum Romawi
c. Sebagai sumber berlakunya, yang member kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat)
d. Sebagai sumber dimana kita dapat menemukan hukum, misal dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis, dan sebagaimya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum, sumber yang menimbulkan hukum.

Doktrin
Pengertian doktrin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan, pendirian segolongan ilmu pengetahuan, ketatanegaraan, secara bersistem khususnya pada penyelenggaraan kebijakan negara. Pengertian doktrin menurut kamus hukum karangan Andi Hamzah (1986:154) adalah ajaran kaum sarjana hukum, khusus dipakai sebagai kebalikan dari peradilan (rechtspraak), dan yurisprudensi (jurisprudentie), ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh peradilan. Doktrin juga dapat disebut sebagai dogma. Dogmatische rechtswetenschap, adalah ilmu pengetahuan hukum dogmatis, yaitu bagian dari ilmu hukum yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara aturan hukum yang satu dengan yang lain, mengaturnya dalam satu sistem dan mengumpulkan dari aturan baru dan pemecahan persoalan tertentu (Andi Hamzah, 1986:155). Doktrin hukum, dapat disebut sebagai pemikiran para sarjana hukum tentang hukum itu sendiri.
Chainur Arrasjid mengatakan bahwa doktrin hukum dapat dikemukakan dalam berbagai forum, seperti penelitian, seminar atau dengan penerbitan buku dan lain-lain. Doktrin hukum mengalami perkembangan pesat sejak zaman Romawi. Pada zaman Romawi, terdapat golongan para ahli hukum yang dinamakan prudentes dapat membuat tindakan-tindakan sebagai berikut (Chainur Arrasjid, 2001:81):
a. Membuat ulasan (komentar) tentang hukum yang berlaku di masyarakat.
b. Beruasah mencari hakekat hukum (les raisons fropondes)
c. Berusaha memberi jawaban atas masalh-masalah yang hangat.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, menyebut pengertian doktrin dari dua pendapat para ahli sebagai berikut:
a. Jan Gissels dan van Hoecke menyebut doktrin hukum sebagai dogmatik hukum. Dogmatik hukum dalam arti sempit, bertujuan untuk memaparkan dan memsistematisasi serta dalam arti tertentu menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku. Ajaran hukum tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematisasi, melainkan secara sadar mangambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang diperdebatkan. Ajaran hukum tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga preskriptif (bersifat normatif) (Otje Salman dan Anton F. Susanto,2007:56).
b. J.J.H. Bruggink, menyebut dogmatika hukum adalah ilmu hikum (dalam arti sempit) merupakan bagian utama dari pengajaran pada fakultas hukum. Objek dogmatika hukum adalah hukum positif, yaitu sistem konseptual aturan hukum dari putusan hukum, yang bangian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh pengambil kebijakan dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum disebut pembentukan hukum, sedangkan pengambilan keputusan hukum adalah penemuan hukum. Seorang dogmatis hukum akan sering menempatkan diri seolah-olah ia tengah melakukan kegiatan pembentukan hukumatau penemuan hukum (Otje Salman dan Anton F. Susanto,2007:62).
Ishaq, mengutip pendapat R. Soeroso, mengatakan bahwa doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang terkemuka, yang besar pengaruhnya, terhadap hakim dalam mengambil keputusan. Doktrin dapat menjadi hukum formal bila telah menjelma menjadi putusan hakim (Ishaq, 2008:112-113).


Relevansi Doktrin Hukum
Dalam kehidupan sehari-hari, tindakan manusia termasuk hukum di bidang hukum sangat dipengaruhi oleh mahzab/aliran pemikiran (doktrin) yang dianutnya. Mahzab hukum diartikan (dimaknakan) sebagai aliran yang berkembang dalam khasanah hukum yang bergerak di bidang teori hukum dan fisafat hukum. Ilmu hukum termasuk ke dalam ilmu praktis, dimana ilmu hukum berfungsi mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Untuk itu, ilmu hukum harus terbuka untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komunitas di luar ilmu hukum dan nilai-nilai manusiawi. Ilmu hukum merupakan tempat bertemu dan berinteraksi berbagai ilmu yang bermuara pada suatu konvergensi dari ilmu tersebut (Satjipto Rahardjo, 2007:156).
DHM Meuwissen seperti dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa ilmu hukum dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yakni Ilmu hukum Praktis dan Ilmu Hukum Teoritis. Ilmu hukum praktis menekuni kegiatan manusia dengan mewujudkan tujuan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit melalui pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Ilmu hukum teoritis menekuni refleksi teoritis terhadap hukum (Satjipto Rahardjo, 2007:156-157). Jadi relevansi doktrin hukum terhadap hukum sendiri adalah saling berhubungan dalam penyelesaian persoalan di bidang hukum, terutama menjadi pedoman bagi hakim untuk memutus suatu sengketa hukum di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 1989. Kamus Hukum. Jakarta:
C.S.T Kansil. 1989. Pengantar Imu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Chainur Arrasjid. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Munir Fuady. 2010. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Paul Scholten. 2003. Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.
Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar